Rabu, 15 Maret 2017

Analisis Strategi Manajemen Krisis Arla Foods terhadap Pemboikotan Produknya di Timur Tengah

Setiap perusahaan besar pasti pernah mengalami krisis baik dalam tubuh internalnya, maupun tubuh eksternalnya. Indikator kesuksesan dalam menangani sebuah krisis adalah dilihat dari di mana posisi perusahaan setelah krisis itu, bila perusahaan kembali normal atau bahkan lebih baik maka bisa dikatakan bahwa perusahaan tersebut berhasil menghadapi krisis. Tetapi, bila perusahaan semakin jatuh atau bahkan gulung tikar, maka perusahaan tersebut tidak dapat melewati krisis dengan baik. Salah satunya adalah kasus yang dialami oleh Arla Foods pada tahun 2005 yang menyebabkan kerugian luar biasa.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis strategi manajemen yang dilakukan Arla Foods terhadap masalah yang telah dihadapinya dan semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah deskripsi singkat dari kasus Arla Foods.

Deskripsi Kasus
            Arla Foods adalah sebuah perusahaan terbesar penghasil produk susu yang berbasis di Denmark. Perusahaan ini dimiliki oleh 11.000 petani Denmark dan Swedia. Arla Foods memiliki pasar yang besar di Timur Tengah dengan penjualan per tahun sebesar US$480 juta. Pada tanggal 30 September 2005, suatu koran Denmark bernama Jyllands-Posten menerbitkan Koran yang berisi 12 kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW, dan kartun tersebut dinilai islamophobia dan rasis. Pada bulan Oktober 2005 sampai Februari 2006, kartun tersebut sudah menyebar di banyak koran di daerah Eropa seperti di Norwegia, Belanda, Jerman, Belgia, dan Prancis. Hal ini menimbulkan protes dari muslim di seluruh dunia. Aksi protes seperti pembakaran di Kedutaan Norwegia dan Denmark di Damascus dan Beirut; serangan di Kedutaan Denmark di Teheran; aksi penembakan di Kota Gaza yang menuntut permintaan maaf dari Denmark dan Norwegia.
            Setelah gambar kartun tersebut tersebar, perwakilan Muslim meminta pertemuan dengan Perdana Mentri Denmark, Anders Fogh Rasmussen, untuk membahas hal tersebut namun pihak pemerintahan Denmark menolaknya. Dalam pidato tahun baru, PM Denmark membicarakan tentang kebebasan berpendapat. Pada 20 Januari 2006, tokoh politik dan tokoh agama di Arab Saudi memboikot produk dari Denmark. Arla merespon dengan memasang sebuah iklan di koran Arab Saudi menyatakan tidak ada hubungannya dengan kartun yang meluas, selain itu juga Arla membuat iklan di satu halaman penuh menunjukkan pernyataan PM Denmark terhadap islam. Arla mengakui bahwa hal tersebut tidak membantu.
            27 Januari, persatuan industry Denmark meminta Jyllands-Postens untuk melakukan permintaan maaf secara tertulis, yang akhirnya dilakukan pada tanggal 31 Januari. PM Denmark menanggapi permintaan maaf dan berkata bahwa media independen tidak diedit oleh pemerintah. Sementara, Nestle, pabrik besar berbasis Swiss memasang iklan di Koran di Arab Saudi bertuliskan produk yang dijual di Arab adalah bukan dari Denmark. Penjualan Nestle kemudian kebali normal.
            Akhir Januari, Arla mengatakan bahwa pemboikotan di Timur Tengah nyaris total dan semua pelanggan di daerah tersebut membatalkan pemesanannya. Kemudian Arla mengatakan “kami terjebak di dalam permainan yang kami tidak ada hubungan dengannya sama sekali.” Selain itu juga Arla mengatakan bahwa sangat sulit untuk menyampaikan pesan kepada seluruh pelanggan muslim. “Butuh 40 tahun bagi kami untuk membangun bisnis yang sangat besar di Timur Tengah ini, lalu segalanya ini terhenti dalam waktu lima hari.” Pada bulan Januari dua karyawan Arla diserang, kemudian pada Februari pemboikotan merugikan perusahaan £1 juta per hari.
            Pada 1 Maret, Arla memprediksikan kerugian sebesar US$64 juta. Bulan berikutnya, Arla kembali mulai memasang iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Pada awal April, produk Arla mulai kembali dipasarkan di beberapa toko di Timur Tengah. Pada Agustus, penjualan telah mencapai pre-boycott di beberapa kota. Direktur Arla, Knud Erik Jensen, berkata “Hasil dari penjualan di Timur Tengah tidak sesuai dengan harapan”.

Analisis
Identifikasi Tahapan Isu
Dalam bukunya, Public Relations, Issue & Crisis Management, Kriyantono (2015) menuliskan ada empat tahan perkembangan isu menurut Regester & Larkin, yaitu:
a.       Tahap Origin (Potential Stage / Define the Issue)
Pada tahap ini, masyarakat sudah memberikan perhatiannya kepada isu. Masyarakat sudah merasakan adanya gap antara harapannya dan kenyataan organisasi, masyarakat berharap ada perubahan yang dilakukan organisasi. Pada tahap ini, masyarakat dimungkinkan melakukan suatu tindakan-tindakan tertentu yang berkaitan dengan isu. Tahap ini menentukan apakah isu dapat dimanajemen dengan baik atau tidak.
Ketika gambar kartun telah meluas hingga negara lainnya di Eropa, pada kurun waktu Oktober 2005-Februari 2006, masyarakat telah banyak yang melakukan aksi protes di depan kedutaan besar Denmark. Masyarakat telah mengambil aksi hingga adanya aksi pembakaran dan penyerangan. Hal ini telah masuk pada tahap origin.

b.      Tahap Mediations and Amplifications
Pada tahap ini isu telah berkembang karena mendapat dukungan publik. Ada kelompok-kelompok yang memiliki agenda di baliknya. Pada tahap ini organisasi harus mampu mengontrol informasi dengan menyediakan informasi yang aktual, benar, dan berbasis data. Organisasi harus membuka komunikasi dua arah baik dengan publik maupun dengan media, agar tercipta keseimbangan pemberitaan media sehingga isu bisa dikelola degan baik.
Setalah gambar kartun tersebut beredar, ada seorang perwakilan Muslim yang meminta PM Denmark untuk melakukan diskusi terkait hal ini tetapi ditolak oleh PM Denmark. Pada malam tahun baru, PM Denmark malah berpidato mengenai kebebasan berpendapat.

c.       Tahap Organization (Critical Stage)
Pada tahap ini publik sudah membentuk jaringan. Isu telah berkembang menjadi lebih populer karena pemberitaan media massa yang dilakukan secara berulang dengan eskalasi yang tinggi, ditambah dengan interaksi di media sosial dan jaringan yang dimiliki publik. Critical stage terjadi apabila publik sudah terbagi menjadi dua kubu, yaitu pro dan kontra. Menurut Hainsworth (dalam Kriyantono, 2015) isu menjadi kritis ketika tidak tertangani dengan baik, dengan pemerintah memiliki campur tangan penuh termasuk mengatur langkah organisasi. Tahap ini rawan akan politisasi yang dilakukan kelompok-kelompok yang memiliki agenda untuk mempengaruhi pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Dalam situasi ini media massa memiliki peran penting karena kekuatannya dalam membentuk opini publik, maka dari itu public relations harus memberikan informasi yang jelas, terbuka, dan jujur kepada media massa yang diharapkan akan membangun relasi yang baik dengan media untuk memperoleh publisitas yang positif.
Dengan semakin tingginya pemberitaan media dan semakin panasnya situasi, Seorang tokoh politik Arab memboikot produk dari Denmark. Tanggapan Arla pada saat itu malah semakin memperkeruh keadaan dengan menulis kembali pertanyaan PM Denmark sehingga hal yang dilakukan Arla tidak efektif.

d.      Tahap Resolution
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang diikuti organisasi. Pada dasarnya, tahap ini telah melewati isu meski membutuhkan energi yang besar, waktu yang lama, dan biaya yang besar juga. Tetapi dimungkinkan isu muncul kembali jika masih terdapat ketidakpuasan pada publik.
            Setelah Jyllands-Posten meminta maaf, pada 1 Maret Arla memprediksikan kerugian sebesar US$64 juta. Bulan berikutnya, Arla kembali mulai memasang iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Pada awal April, produk Arla mulai kembali dipasarkan di beberapa toko di Timur Tengah. Pada Agustus, penjualan telah mencapai pre-boycott di beberapa kota.

Menurut saya, strategi yang dilakukan Arla tidak efektif sehingga menyebabkan kerugian besar dan menyebabkan Arla tidak dapat kembali beroperasi seperti semula. Strategi yang dilakukan Arla bisa dikatakan sia-sia karena:
1.      Pihak Arla tidak melihat adanya tanda-tanda krisis sejak awal. Pihak Arla tidak mengantisipasi bahwa ketika kartun tersebut beredar maka dapat berdampak pada kelangsungan hidup organisasi. Arla tidak segera memberi statement. Arla baru member statement ketika masyarakat telah melakukan tindakan-tindakan. Ketika September 2005 kartun tersebut keluar, Arla baru memberi respon pada Januari 2006. Respon yang diberikan pun malah tidak sesuai harapan, bukannya menegaskan posisi Arla tidak ada kaitannya dengan kartun tersebut, malah Arla menulis pernyataan PM Denmark yang pada saat itu menolak berdiskusi dengan muslim mengenai masalah ini.
2.      Bila dikaitkan dengan konstruksi sosial isu dan krisis (Kriyantono, 2015, h.282), Berger dan Thomas Luckman (1967) mengatakan bahwa
“realitas dikonstruksi secara sosial ketika seseorang atau kelompok berinteraksi bersama dalam sebuah sistem sosial”.
Sebuah realias sosial yang terjadi dalam masyarakat dikonstruksikan oleh individu-individu yang terdapat di dalamnya. Dalam kasus Arla, walaupun Arla tidak ada hubungannya dengan koran Jylland-Posten tetapi masyarakat mengasumsikan mereka berhubungan karena berasal dari negara yang sama. Realitas yang diciptakan dikonstruksi karena terjadinya interaksi dalam sebuah sistem sosial yang sama.
3.      Bila dikaitkan dengan Image Restoration Theory menurut Blaney dalam Kriyantono (2014), cara berkomunikasi Arla dalam kasus ini Arla menggunakan strategi denial (menyangkal) yaitu menyangkal tuduhan yang menyebabkan krisis dengan mengkambing hitamkan pihak lain (scape-goating denial) seperti ketika ia berkata “Kami terjebak di dalam permainan yang kami tidak ada hubungan dengannya sama sekali” dan selain itu juga Arla mengatakan bahwa sangat sulit untuk menyampaikan pesan kepada seluruh pelanggan muslim.

Daftar Pustaka
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat & lokal aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Kencana.
Kriyantono, R. (2015). Public relations, issue & crisis management. Jakarta: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar