Setiap perusahaan besar
pasti pernah mengalami krisis baik dalam tubuh internalnya, maupun tubuh
eksternalnya. Indikator kesuksesan dalam menangani sebuah krisis adalah dilihat
dari di mana posisi perusahaan setelah krisis itu, bila perusahaan kembali
normal atau bahkan lebih baik maka bisa dikatakan bahwa perusahaan tersebut
berhasil menghadapi krisis. Tetapi, bila perusahaan semakin jatuh atau bahkan
gulung tikar, maka perusahaan tersebut tidak dapat melewati krisis dengan baik.
Salah satunya adalah kasus yang dialami oleh Arla Foods pada tahun 2005 yang
menyebabkan kerugian luar biasa.
Tujuan dari tulisan ini
adalah untuk menganalisis strategi manajemen yang dilakukan Arla Foods terhadap
masalah yang telah dihadapinya dan semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Untuk
lebih jelasnya, berikut adalah deskripsi singkat dari kasus Arla Foods.
Deskripsi Kasus
Arla
Foods adalah sebuah perusahaan terbesar penghasil produk susu yang berbasis di
Denmark. Perusahaan ini dimiliki oleh 11.000 petani Denmark dan Swedia. Arla
Foods memiliki pasar yang besar di Timur Tengah dengan penjualan per tahun
sebesar US$480 juta. Pada tanggal 30 September 2005, suatu koran Denmark
bernama Jyllands-Posten menerbitkan Koran yang berisi 12 kartun yang
menggambarkan Nabi Muhammad SAW, dan kartun tersebut dinilai islamophobia dan
rasis. Pada bulan Oktober 2005 sampai Februari 2006, kartun tersebut sudah
menyebar di banyak koran di daerah Eropa seperti di Norwegia, Belanda, Jerman,
Belgia, dan Prancis. Hal ini menimbulkan protes dari muslim di seluruh dunia. Aksi
protes seperti pembakaran di Kedutaan Norwegia dan Denmark di Damascus dan
Beirut; serangan di Kedutaan Denmark di Teheran; aksi penembakan di Kota Gaza
yang menuntut permintaan maaf dari Denmark dan Norwegia.
Setelah
gambar kartun tersebut tersebar, perwakilan Muslim meminta pertemuan dengan
Perdana Mentri Denmark, Anders Fogh Rasmussen, untuk membahas hal tersebut
namun pihak pemerintahan Denmark menolaknya. Dalam pidato tahun baru, PM
Denmark membicarakan tentang kebebasan berpendapat. Pada 20 Januari 2006, tokoh
politik dan tokoh agama di Arab Saudi memboikot produk dari Denmark. Arla merespon
dengan memasang sebuah iklan di koran Arab Saudi menyatakan tidak ada hubungannya
dengan kartun yang meluas, selain itu juga Arla membuat iklan di satu halaman
penuh menunjukkan pernyataan PM Denmark terhadap islam. Arla mengakui bahwa hal
tersebut tidak membantu.
27
Januari, persatuan industry Denmark meminta Jyllands-Postens untuk melakukan
permintaan maaf secara tertulis, yang akhirnya dilakukan pada tanggal 31
Januari. PM Denmark menanggapi permintaan maaf dan berkata bahwa media
independen tidak diedit oleh pemerintah. Sementara, Nestle, pabrik besar
berbasis Swiss memasang iklan di Koran di Arab Saudi bertuliskan produk yang
dijual di Arab adalah bukan dari Denmark. Penjualan Nestle kemudian kebali
normal.
Akhir
Januari, Arla mengatakan bahwa pemboikotan di Timur Tengah nyaris total dan
semua pelanggan di daerah tersebut membatalkan pemesanannya. Kemudian Arla
mengatakan “kami terjebak di dalam permainan yang kami tidak ada hubungan
dengannya sama sekali.” Selain itu juga Arla mengatakan bahwa sangat sulit
untuk menyampaikan pesan kepada seluruh pelanggan muslim. “Butuh 40 tahun bagi
kami untuk membangun bisnis yang sangat besar di Timur Tengah ini, lalu
segalanya ini terhenti dalam waktu lima hari.” Pada bulan Januari dua karyawan
Arla diserang, kemudian pada Februari pemboikotan merugikan perusahaan £1 juta
per hari.
Pada 1 Maret, Arla memprediksikan
kerugian sebesar US$64 juta. Bulan berikutnya, Arla kembali mulai memasang
iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Pada awal April, produk Arla mulai
kembali dipasarkan di beberapa toko di Timur Tengah. Pada Agustus, penjualan
telah mencapai pre-boycott di
beberapa kota. Direktur Arla, Knud Erik Jensen, berkata “Hasil dari penjualan
di Timur Tengah tidak sesuai dengan harapan”.
Analisis
Identifikasi Tahapan
Isu
Dalam bukunya, Public Relations, Issue & Crisis
Management, Kriyantono (2015) menuliskan ada empat tahan perkembangan isu
menurut Regester & Larkin, yaitu:
a.
Tahap Origin (Potential Stage /
Define the Issue)
Pada
tahap ini, masyarakat sudah memberikan perhatiannya kepada isu. Masyarakat sudah
merasakan adanya gap antara harapannya dan kenyataan organisasi, masyarakat
berharap ada perubahan yang dilakukan organisasi. Pada tahap ini, masyarakat
dimungkinkan melakukan suatu tindakan-tindakan tertentu yang berkaitan dengan
isu. Tahap ini menentukan apakah isu dapat dimanajemen dengan baik atau tidak.
Ketika
gambar kartun telah meluas hingga negara lainnya di Eropa, pada kurun waktu
Oktober 2005-Februari 2006, masyarakat telah banyak yang melakukan aksi protes
di depan kedutaan besar Denmark. Masyarakat telah mengambil aksi hingga adanya
aksi pembakaran dan penyerangan. Hal ini telah masuk pada tahap origin.
b.
Tahap Mediations and Amplifications
Pada
tahap ini isu telah berkembang karena mendapat dukungan publik. Ada kelompok-kelompok
yang memiliki agenda di baliknya. Pada tahap ini organisasi harus mampu
mengontrol informasi dengan menyediakan informasi yang aktual, benar, dan
berbasis data. Organisasi harus membuka komunikasi dua arah baik dengan publik
maupun dengan media, agar tercipta keseimbangan pemberitaan media sehingga isu
bisa dikelola degan baik.
Setalah
gambar kartun tersebut beredar, ada seorang perwakilan Muslim yang meminta PM
Denmark untuk melakukan diskusi terkait hal ini tetapi ditolak oleh PM Denmark.
Pada malam tahun baru, PM Denmark malah berpidato mengenai kebebasan
berpendapat.
c.
Tahap Organization (Critical Stage)
Pada
tahap ini publik sudah membentuk jaringan. Isu telah berkembang menjadi lebih populer
karena pemberitaan media massa yang dilakukan secara berulang dengan eskalasi
yang tinggi, ditambah dengan interaksi di media sosial dan jaringan yang
dimiliki publik. Critical stage
terjadi apabila publik sudah terbagi menjadi dua kubu, yaitu pro dan kontra. Menurut
Hainsworth (dalam Kriyantono, 2015) isu menjadi kritis ketika tidak tertangani
dengan baik, dengan pemerintah memiliki campur tangan penuh termasuk mengatur
langkah organisasi. Tahap ini rawan akan politisasi yang dilakukan
kelompok-kelompok yang memiliki agenda untuk mempengaruhi pemerintah sebagai
pengambil kebijakan. Dalam situasi ini media massa memiliki peran penting
karena kekuatannya dalam membentuk opini publik, maka dari itu public relations harus memberikan
informasi yang jelas, terbuka, dan jujur kepada media massa yang diharapkan
akan membangun relasi yang baik dengan media untuk memperoleh publisitas yang
positif.
Dengan
semakin tingginya pemberitaan media dan semakin panasnya situasi, Seorang tokoh
politik Arab memboikot produk dari Denmark. Tanggapan Arla pada saat itu malah
semakin memperkeruh keadaan dengan menulis kembali pertanyaan PM Denmark
sehingga hal yang dilakukan Arla tidak efektif.
d.
Tahap Resolution
Pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan yang diikuti organisasi. Pada dasarnya, tahap ini
telah melewati isu meski membutuhkan energi yang besar, waktu yang lama, dan
biaya yang besar juga. Tetapi dimungkinkan isu muncul kembali jika masih
terdapat ketidakpuasan pada publik.
Setelah Jyllands-Posten meminta
maaf, pada 1 Maret Arla memprediksikan kerugian sebesar US$64 juta. Bulan berikutnya,
Arla kembali mulai memasang iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Pada awal
April, produk Arla mulai kembali dipasarkan di beberapa toko di Timur Tengah. Pada
Agustus, penjualan telah mencapai pre-boycott
di beberapa kota.
Menurut saya, strategi
yang dilakukan Arla tidak efektif sehingga menyebabkan kerugian besar dan
menyebabkan Arla tidak dapat kembali beroperasi seperti semula. Strategi yang
dilakukan Arla bisa dikatakan sia-sia karena:
1. Pihak
Arla tidak melihat adanya tanda-tanda krisis sejak awal. Pihak Arla tidak
mengantisipasi bahwa ketika kartun tersebut beredar maka dapat berdampak pada
kelangsungan hidup organisasi. Arla tidak segera memberi statement. Arla baru
member statement ketika masyarakat telah melakukan tindakan-tindakan. Ketika September
2005 kartun tersebut keluar, Arla baru memberi respon pada Januari 2006. Respon
yang diberikan pun malah tidak sesuai harapan, bukannya menegaskan posisi Arla
tidak ada kaitannya dengan kartun tersebut, malah Arla menulis pernyataan PM
Denmark yang pada saat itu menolak berdiskusi dengan muslim mengenai masalah
ini.
2. Bila
dikaitkan dengan konstruksi sosial isu dan krisis (Kriyantono, 2015, h.282),
Berger dan Thomas Luckman (1967) mengatakan bahwa
“realitas
dikonstruksi secara sosial ketika seseorang atau kelompok berinteraksi bersama
dalam sebuah sistem sosial”.
Sebuah
realias sosial yang terjadi dalam masyarakat dikonstruksikan oleh
individu-individu yang terdapat di dalamnya. Dalam kasus Arla, walaupun Arla
tidak ada hubungannya dengan koran Jylland-Posten tetapi masyarakat
mengasumsikan mereka berhubungan karena berasal dari negara yang sama. Realitas
yang diciptakan dikonstruksi karena terjadinya interaksi dalam sebuah sistem
sosial yang sama.
3. Bila
dikaitkan dengan Image Restoration Theory
menurut Blaney dalam Kriyantono (2014), cara berkomunikasi Arla dalam kasus ini
Arla menggunakan strategi denial (menyangkal)
yaitu menyangkal tuduhan yang menyebabkan krisis dengan mengkambing hitamkan
pihak lain (scape-goating denial)
seperti ketika ia berkata “Kami terjebak di dalam permainan yang kami tidak ada
hubungan dengannya sama sekali” dan selain itu juga Arla mengatakan bahwa
sangat sulit untuk menyampaikan pesan kepada seluruh pelanggan muslim.
Daftar Pustaka
Kriyantono,
R. (2014). Teori public relations
perspektif barat & lokal aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta:
Kencana.
Kriyantono,
R. (2015). Public relations, issue &
crisis management. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar